Satu Tekad Hapus Surat Ijo di Surabaya

Dalam rangkan Sumpah Pemuda 2009,

Satu Tekad

Satu Tekad
Simbol Persatuan Pejuang Penghapusan Surat Ijo di Surabaya

Rabu, 06 Januari 2010

Motivasi dan Garis Perjuangan

Setelah Negara Republik Indonesia merdeka, tanah-tanah bekas partikelir atau ex Gemeente Surabaya menjadi Tanah Negara. Pasal 3 UU No. 1 Tahun 1958 menyatakan: ”sejak berlakunya Undang-undang ini demi kepentingan umum hak-hak pemilik beserta hak-hak pertuanannya atas semua tanah tanah partikelir hapus dan tanah tanah partikelir itu karena hukum seluruhnya serentak menjadi Tanah Negara”. Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA) yang ditetapkan pada tanggal 24 September 1960 : “Hak-hak wewenang atas bumi dan air swapraja atau bekas swapraja yang masih ada pada waktu mulai berlakunya Undang undang ini hapus dan beralih kepada Negara”. Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, menyatakan bahwa bumi air dan seisinya dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
4 Kalimat tersebut diatas adalah cuplikan dari pembukaan berkas gugatan warga kelurahan Ngagelrejo dan Jagir. Kalimat-kalimat itulah yang menjadi alasan dari mengapa ada perjuangan penghapusan surat ijo yang meski pasang surut, tidak pernah berhenti dilakukan oleh warga pemegang surat ijo diseluruh Surabaya.
Perjuangan meraih kepastian hukum hak atas tanah yang ditinggali warga kota Surabaya telah dilakukan secara terorganisir sejak tahun 1999, dalam organisasi-organisasi yang dimotori oleh warga masyarakat yang sadar akan penindasan terhadap hak-haknya sebagai warganegara dari bangsa yang telah merdeka sejak tahun 1945.
Dengan telah didaftarkannya gugatan warga pemegang surat ijo ke PN Surabaya pada tanggal 20 Pebruari 2007 maka warga masyarakat kelurahan Ngagelrejo dan Jagir secara resmi berperkara dengan Pemerintah Kota Surabaya, BPN Surabaya dan DPRD kota Surabaya. Dan akhirnya era perjuangan melalui jalur hukum di seluruh Surabaya pun dimulai.

PANGKAL MASALAH

Di era 1970 -1980an seperti terjadi eforia masyarakat Surabaya yang sebelumnya telah menjalankan hukum adat tentang pertanahan seolah telah diangkat status kepemilikan tanahnya, yaitu berbondong-bondong mendatangi Pemkot untuk mengikuti Program “Pemutihan” yang dijalakan Pemerintah Kota Surabaya yang pada hakekatnya justru terjadi pencaplokan tanah-tanah warga yang semula secara hukum adat sah sebagai kepemilikan, menjadi Tanah aset Pemkot (karena dikeluarkansurat Ijin Pemakaian Tanah yang sampulnya berwarna hijau /ijo ). Anehnya banyak wilayah wilayah RW yang justru mengadakan syukuran karena merasa status tanahnya meningkat. (Disebarkan pemahaman yang menyesatkan : urut-urutan pengurusan tanah yaitu disurat ijokan dulu, HGB baru bisa Sertifikat Hak Milik).
Pada umumnya warga awam hukum dan karena keawamannya warga bukannya mengajukan permohonan pendaftaran tanahnya ke Badan Pertanahan Nasional agar diterbitkan tanda bukti hak atas tanah berupa Sertipikat Hak Milik, tetapi warga justru ke Pemkot yang melakukan program “Pemutihan”. Ada jebakan pada program “pemutihan” tersebut yaitu warga menandatangani pernyataan bahwa tanah tersebut adalah milik Pemkot dan tidak akan keberatan apabila Pemkot meng-HPL kan tanah tersebut, berkas tersebut ditanda tangani pada saat pengambilan surat ijo dan warga tidak diberi tembusannya. Maka terjadilah pendakuan/klaim secara licik tanah-tanah warga sebagai aset Pemkot.
Celakanya, tindakan licik tersebut diperkuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Kota Surabaya dengan meloloskan peraturan serta kebijakan untuk “melegalisasi” dan “melegitimasi” penguasaan (pencaplokan) tanah-tanah warga tersebut melalui :
1. Keputusan DPRD GR Surabaya No. 03E/DPRD-GR/KEP/1971 tanggal 6 Mei 1971 tentang sewa tanah.
2. Peraturan Daerah Kotamadya Tingkat II Surabaya No. 9 Tahun 1986 tanggal 5 Juli 1986 tentang Pemakaian Rumah yang dikuasai oleh Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya.
3. Peraturan Daerah Kotamadya Tingkat II Surabaya No. 3 Tahun 1987 tentang pemakaian Tanah atau tempat yang dikuasai oleh Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya
4. Peraturan Derah Kotamadya Tingkat II Surabaya No. 12 Tahun 1994 tentang Ijin Pemakaian tanah yang dikuasai oleh Pemerintah Kotamadya Tingkat II Surabaya.
5. Peraturan Daerah Kotamadya Tingkat II Surabaya No. 1 Tahun 1997 tentang Ijin Pemakaian Tanah.
6. Keputusan Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Surabaya No. 1 tahun 1998 tentang tatacara Penyelesaian Ijin Pemakaian Tanah.
7. Peraturan Daerah Kotamadya Tingkat II Surabaya No. 16 Tahun 1999 tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah.
8. Peraturan Daerah Kota Surabaya No. 21 Tahun 2003 Tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah.
Dengan mendasarkan pada seabreg peraturan yang dari tahun ketahun “disempurnatan” Pemerintah Kota Surabaya menegaskan sikapnya mengklaim/mendaku secara sepihak tanah-tanah yang secara turun temurun sejak sebelum merdeka telah ditinggali warga. Bahkan, sangat mungkin, Pelaku dan keturunan peristiwa Heroik 10 Nopember 1945 yang pada akhirnya berhasil memerdekakan seluruh Indonesia yang tinggal di tanah tanah tersebut pun diwajibkan untuk memperoleh “Ijin Pemakaian Tanah” yang lebih dikenal dengan “surat Ijo” dari Pemerintah Kota Surabaya dan terpaksa harus “menyewa” yang dihitung mundur mulai tahun 1966. Dholim ! Berarti Pemerintah Kota Surabaya dengan dibantu DPRD Kota Surabaya telah menjadi “Tuan Tanah” bagi warga Kotanya sendiri, sebagaimana dahulu pernah dipraktekkan pada jaman kolonialisme.
Untuk menyempurnakan rencana pencaplokan, sekitar tahun 1970-1980an melalui tipu muslihat licik serta melawan hukum, Pemerintah Kota Surabaya melalui aparat Kelurahan setempat, RW dan RT, telah memaksa warga agar menyerahkan bukti-bukti asli berupa Pethok D, Pethok Pajeg Bumi, Zegel jual beli dan lain-lain untuk menghilangkan jejak secara administrasi bukti kepemilikan warga. Hal ini masih bisa ditanyakan pada banyak saksi-saksi pelaku “Pemutihan” yang masih hidup. Dikarenakan tidak mengerti dan rasa takut, warga terpaksa menyerahkan begitu saja surat-surat tersebut.


ERA PERLAWANAN

Kesadaran warga baru terjadi setelah merasakan semakin tingginya retribusi (“sewa”) tanah surat ijo sampai beberapa kali lipat Pajak Bumi dan Bangunan yang sejak dulu juga selalu dibayar, satu obyek dikenakan dua retribusi. Maka mulailah terjadi perlawanan warga setelah kejatuhan orde baru.

Perlawanan secara nyata dimulai sejak tahun 1999 yang dimotori oleh Soegito dari wilayah Ngagelrejo dan Soewoto dari wilayah dukuh kupang. Dengan membentuk organisasi-organisasi anti keberadaan surat ijo diseluruh wilayah kota Surabaya, mereka membangkitkan warga mulai Dukuh kupang sampai Ngagelrejo, dari Utara mulai dari Perak Barat, Krembangan sampai dengan Jagir. Warga dihimbau untuk mogok bayar sewa, dilakukan Demo-demo ke DPRD Kota Surabaya dan Balai Kota, membuat rapat akbar, lobi-lobi dan ikut meramaikan dukung mendukung calon Wali kota. Semua telah dilakukan, namun hasilnya masih belum dapat memuaskan warga.

Akibat kegagalan demi kegagalan antar kelompok aktifis perjuangan mulai terjadi perpecahan, perpecahan ini yang akhirnya sering dimanfaatkan Pemerintah Kota Surabaya untuk diadu domba dan dijadikan alasan Pemkot untuk tidak melanjutkan negosiasi untuk pelepasan surat ijo.
Disini akhirnya terlihat kelemahan aktifis dan warga dibuat tidak punya lagi harapan akan keberhasilan perjuangan penghapusan surat ijo. Pas persis dengan cara-cara pemerintah Belanda dimasa lalu ketika menghadapi pemberontakan, yaitu politik pecah belah.
Para pejuang yang semakin lemah diundang Pemkot untuk ditawari dihidupkannya lagi Tim Pengkajian yang pernah dibentuk Pemkot bersama warga masyarakat yang dulu tujuannya meneliti asal usul tanah sehingga diketahui mana yang aset Pemkot mana yang bukan, ditawarkan juga HGB diatas HPL atas tanah-tanah surat ijo.
Tawaran pertama diterima oleh para pejuang karena akan memperjelas status tanah yangdiperjuangkan. Tawaran kedua dengan tegas ditolak! Kalau mau HGB diatas HPL tidak perlu berjuang, dari dulu itu juga yang ditawarkan Pemkot.
Akibat penolakan tersebut maka terbitlah surat dari Kepala Badan Pengelolaan Tanah dan Bangunan Kota Surabaya Nomer 590/922/436.6.9/2006 tertanggal 29-8-2006 yang ditujukan kepada Ketua Perkumpulan Panitya Meraih Hak Milik Tanah Rakyat Surabaya Pemegang Surat Hijau (PMHMT), yang isinya menyatakan bahwa “tanah-tanah bersurat ijo akan tetap dipertahankan sebagai aset Pemkot”.
Surat terakhir Pemkot ini mengakhiri dialog yang dibangun antara warga dalam hal ini diwakili para pejuang, dengan Pemkot. Tidak ada jalan lain kecuali lewat jalur hukum.
Para pejuang menyadari bahwa perjuangan lewat jalur hukum sangat berat dan panjang. Apalagi kekuatan terpecah-pecah, yang menyebabkan semakin beratnya perjuangan. Perjuangan panjang ini seolah telah membentur tembok beton tinggi dan tak tertembus, tidak ada jalan kecuali dengan “BERSATU!” bergabung, berjuang bersama-sama, menyamakan langkah, menggabungkan kekuatan. Itulah yang akhirnya menyadarkan pemimpin-pemimpin perjuangan anti surat ijo untuk segara bergabung.

Berkah Romadhon 2006 telah membuahkan beberapa kali pertemuan para pemimpin perjuangan. Puncak dari pertemuan-pertemuan tersebut adalah pertemuan dirumah H. Prof. DR. Basuki Rekso Wibowo SH.MSi. pada tanggal 17 Oktober 2006 (malem 25 Romadhon), yang dihadiri oleh Drs. Soegito, H Soewoto SH, Mustaqim, Prof. Basuki, Hj. Pinto Ulupi Wibowo (istri prof. Basuki) dan 8 warga masyarakat pendukung perjuangan.
Para pemimpin sepakat untuk bersatu dibawah kepemimpinan Prof. Basuki, GERATIS adalah kendaraan baru symbol bersatunya warga, kendaraan baru yang telah terisi penuh dengan pasukan yang siap tempur. Dengan pilot project kelurahan Ngagelrejo dan kelurahan Jagir, GERATIS (GErakan Rakyat AnTi surat Ijo Surabaya) akhirnya memicu kembali perjuangan seluruh wilayah surat ijo di kota Surabaya, para pejuang kembali bangkit, bangkit dengan semangat baru, keyakinan dan percaya diri yang luar biasa. Para pejuang telah kembali.

ERA PERJUANGAN GERATIS

LANGKAH-LANGKAH MENUJU KEMENANGAN

Dengan dideklarasikannya GERATIS sebagai motor perjuangan meraih kepastian hukum hak milik atas tanah warga kota Surabaya, maka dimulailah hari-hari panjang yang penuh dengan kegiatan.

Perencanaan

Perjuangan dilakukan dengan konsep Perjuangan Rakyat Semesta, artinya dilakukan oleh segenap warga masyarakat dengan kesadaran dan pemahaman akan hak-haknya. Sehingga posisi GERATIS adalah sebagai motor dan tidak akan menjadi "pahlawan" dalam perjuangan ini karena semua ikut terlibat dalam perjuangan.

Perjuangan dilakukan oleh 3 komponen perjuangan yaitu: warga masyarakat, aktifis (GERATIS) dan Lawyer, ketiganya dibawah kepemimpinan Prof. Basuki Reksowibowo.
Keberhasilan perjuangan sangat diyakini tergantung pada :

1. Motivasi
2. pengorganisasian
3. perencanaan kegiatan
4. dukungan
5. evaluasi

Perencanaan kegiatan perjuangan meliputi: sosialisasi perjuangan melalui jalur hukum, pembuatan surat kuasa, pendaftaran gugatan, pengumpulan alat bukti dan saksi, pelaksanaan persidangan, alokasi anggaran perjuangan, pendanaan, langkah-langkah antisipasi terhadap gangguan perjuangan, informasi ke warga serta kaderisasi penerus perjuangan.
Komitment

Kuasa Hukum sepakat dengan GERATIS bahwa : Kuasa hukum tidak minta bayaran, akan tetapi GERATIS harus membiayai proses pengadilan dan administrasi yang diperlukan. (penggandaan berkas Gugatan, pengesahan alat bukti, saksi ahli dll).
Kuasa Hukum bersedia mendampingi warga sampai dengan tingkat Kasasi di Mahkamah Agung bila itu diperlukan.
Setelah selesai perjuangan nantinya, dengan kemenangan pada warga dan berkekuatan hukum tetap, Kuasa Hukum dan GERATIS akan mundur agar warga masyarakat dapat melakukan proses sertifikasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Sumber dana

GERATIS tidak akan melakukan penarikan kepada tiap-tiap warga secara terkoordinir lewat RT, RW maupun Koordinator. Jadi GERATIS murni mengharapkan dukungan pendanaan dari warga masyarakat lewat peran RT-RW dan Donatur pribadi yang tidak mengikat.

Mekanisme pertanggung jawaban

Pada setiap bulan dilakukan Laporan Kegiatan Bulanan GERATIS yang akan di sampaikan ke Ketua RW, RT dan Donatur. Dalam laporan kegiatan tersebut akan dilampiri laporan keuangan. Tiap tahun dalam acara refleksi akan dilaporkan kegiatan dan keuangan tahunan.
Saat selesai perjuangan seluruh kegiatan dan biayanya akan dilaporkan dalam bentuk laporan lengkap kegiatan.

Masa tugas GERATIS

Dari awal GERATIS dibentuk hanya untuk menjadi motor perjuangan rakyat semesta dan bukan sebagai organisasi berbadan hukum yang dipersiapkan untuk mencari keuntungan apalagi sebagai biro jasa sertifikasi.
GERATIS melaksanakan tugasnya hanya sampai dengan “kepastian hukum hak atas tanah warga kota Surabaya”, atau dengan kata lain adanya keputusan Pengadilan tentang status tanah warga sebagai Tanah Negara, sehingga dapat disertifikatkan oleh warga yang menguasainya. Urusan sertifikasi menjadi tanggung jawab masing-masing warga yang mungkin akan dikoordinir oleh RW untuk pengurusan di BPN kota Surabaya

Dasar gugatan

1. Menurut UUPA, satu-satunya instansi yang berwenang menetapkan status hak atas tanah dan menerbitkan bukti sertipikat hak atas tanah adalah Badan Pertanahan Nasional. Pemkot secara sepihak menetapkan tanah tanah warga tersebut sebagai tanah milik/asetnya.
2. Pasal 19 ayat (2) huruf “c” UUPA No. 5 Tahun 1960 jo Pasal 1 angka 20 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun1997, alat bukti hak atas tanah adalah berupa sertipikat yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional. Apakah Pemkot punya? Dipersidangan terbukti tidak secuilpun bukti dimiliki Pemkot!
3. Pasal 33 (3) UUD 1945 jo Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) UUPA jo pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 1963, bahwa Pemerintah Kota Surabaya bukanlah subyek atas hak milik atas tanah.
4. Berdasarkan Pasal 20 ayat (1) UUPA, dengan mengingat ketentuan pasal 6. Dikaitkan dengan Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) UUPA, subyek hak milik adalah warga negara Indonesia dan Badan hukum tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah. Dalam Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun1963 tentang Penunjukan Badan Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah, Pemerintah i.c. Pemerintah Kota Surabay tidak termasuk sebagai subyek hak milik atas tanah!
5. Peraturan Menteri Agraria No. 9 Tahun 1965 tentang Pelaksanaan Konversi Hak Penguasaan Tanah Negara dan Ketentuan Pelaksanaan Konversi Hak Penguasaan Tanah Negara dan Ketentuan Ketentuan tentang Kebijaksanaan Selanjutnya (disingkat PMA No. 9 Tahun 1965). Apakah Hak Pengelolaan ataukah Hak Pakai?
6. Apabila alas hak Pemerintah Kota Surabaya “Hak Pakai”, maka menurut Peraturan Menteri Agraria No. 9 Tahun 1965 hanya terbatas pada tanah Negara untuk kepentingan langsung instansi itu sendiri i.c. Pemerintah Kota Surabaya
7. Apabila alas haknya adalah “Hak Pengelolaan”, menurut ketentuan PMA No. 9 tahun 1965, Pemerintah Kota Surabaya tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan hak pengelolaan terhadap tanah tanah warga, sebab sejak lama tanah-tanh tersebut telah ditinggali warga sebelum Pemerintah Kota Surabaya memiliki Hak Pengelolaan, serta Pemerintah Kota Surabaya tidak pernah sekalipunj menguasai, mengelola ataupun mempergunakan tanah-tanah warga tersebut untuk keperluan langsung instansinya sendiri.
8. Menurut PMA No. 1 tahun 1966 tentang Pendaftaran Hak Pakai dan Hak Pengelolaan, Pasal 1 mengatur : “selain hak milik, hak guna usaha dan Hak Guna Bangunan, maka harus pula didaftarkan menurut ketentuan ketentuan Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1961”. Ditegaskan lagi berdasrkan ketentuan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Pasal 1 ke 20, yang menegaskan bahwa eksistensi hak pengelolaan harus dibuktikan dengan adanya sertipikat yang dikeluarkan oleh Kantor Pertanahan.
9. Bila Pemerintah Kota Surabaya telah memili Hak Pengelolaan Lahan di suatu wilayah, kapan diterbitknnya dan mulai kapan warga telah menempati lahan tersebut. Apabila warga telah menempati suatu lahan jauh lebih dulu dari terbitnya Hak Pengelolaan, perlu dipertanyakan keabsahan sertipikat HPLnya.

Retribusi Surat Ijo Surabaya adalah Pelanggaran HAM

Setelah Negara Republik Indonesia merdeka, tanah-tanah bekas partikelir atau ex Gemeente Surabaya menjadi Tanah Negara. Pasal 3 UU No. 1 Tahun 1958 menyatakan: ”sejak berlakunya Undang-undang ini demi kepentingan umum hak-hak pemilik beserta hak-hak pertuanannya atas semua tanah tanah partikelir hapus dan tanah tanah partikelir itu karena hukum seluruhnya serentak menjadi Tanah Negara”. Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA) yang ditetapkan pada tanggal 24 September 1960 : “Hak-hak wewenang atas bumi dan air swapraja atau bekas swapraja yang masih ada pada waktu mulai berlakunya Undang undang ini hapus dan beralih kepada Negara”. Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, menyatakan bahwa bumi air dan seisinya dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Undang-undang tersebut diatas adalah pondasi luhur yang diletakkan pendiri Republik ini agar Negara bertanggung jawab dalam upaya perlindungan, pemenuhan kebutuhan papan, memfasilitasi serta penghormatan kepada warga masyarakat dalam mencapai hak atas kepemilikan tanah tanpa diskriminasi.
Namun yang terjadi dikota Surabaya justru Pemerintah Kota Surabaya “mencaplok” tanah-tanah bekas partikelir (tanah Negara) dengan cara menerbitkan Surat Ijin Pemakaian Tanah (IPT/ Surat Ijo) atas tanah yang telah ditinggali warga secara turun-temurun sehingga mengakibatkan hak warga untuk mendapatkan kepastian hukum tanah yang ditinggalinya terhalang.
“Pencaplokan” tanah-tanah Negara oleh Pemkot Surabaya dilakukan dengan mengajukan HPL ke BPN padahal warga sudah sejak lama dan masih tinggal disitu, artinya penerbitan HPL yang cacat hukum (terbukti dalam putusan PTUN untuk wilayah Barata Jaya). Contoh ini dapat dipastikan juga dilakukan di wilayah-wilayah lain.
Di wilayah Kelurahan Ngagelrejo dan Kelurahan Jagir pada era 1970 – 1990, dilaksanakan proyek “Pemutihan” oleh Pemkot. Warga yang memegang alat bukti penguasaan tanah berupa Pethok D dan segel dengan sukarela mengikuti program “Pemutihan” ini karena merasa status hak atas tanahnya akan meningkat. Pada kenyataannya bukan pemutihan atau sertifikat hak milik yang didapatkan warga, akan tetapi “penghijauan” karena yang didapat adalah “Surat Ijo’ (IPT) yang dikeluarkan Pemkot.
Di wilayah Perak Barat, bekas HPL Perum Pelabuhan III yang dilepaskan haknya, bukannya dikembalikan kepada Negara melalui BPN, namun diserahkan kepada Pemkot Surabaya dan diterbitkan IPT (Surat Ijo).
Pencaplokan-pencaplokan tanah tanah Negara oleh Pemkot Surabaya tersebut telah mengakibatkan terputusnya hubungan yang bersifat historis, magis, emosional, serta hubungan hukum adat yang sangat kuat antara warga dengan tanah yang ditinggalinya. Karena warga yang dijamin oleh undang-undang agar mendapatkan pemenuhan kebutuhan akan papan hanya mendapatkan haknya sebagai “penyewa”. Yang dalam hal ini telah merendahkan martabat warga secara sosial maupun ekonomi.
Pencaplokan oleh Pemkot tersebut praktis telah menghalangi warga untuk mendapatkan haknya yang dijamin oleh Undang-undang. Padahal didalam Undang-undang No. 39 tahun 1999 pasal 36 tentang Hak Asasi Manusia dinyatakan : “Setiap orang berhak mempunyai hak milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya, keluarganya, bangsa dan masyarakat dengan cara yang tidak melanggar hukum dan tidak seorangpun boleh dirampas miliknya dengan sewenang-wenang dan secara melawan hukum”.